Laman

Selasa, 12 Agustus 2014

TIFA Tomasiwa

Di Balik Pukul Sapu Lidi Morella


Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
“Apa alasan masyarakat Morella mempertahankan Pukul Sapu Lidi ? Pertanyaan itu kemarin kembali diajukan seorang wartawan yang saya dampingi mengambil sejumlah bahan untuk dipublikasi di Morella. Pertanyaan yang sama tiap tahun diajukan pejabat, wartawan bahkan pengunjung yang sudah berulang-ulang mengikuti prosesi atraksi pukul sapu Morella. Salah seorang penanya adalah Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang, putra Raja Gowa terakhir.  Ia diundang dalam kapasitas sebagai perwakilan turunan kapitan dan malesi yang berjuang bersama pada perang Kapahaha tahun 1637 hingga 1646.

MEMAKNAI
Menarik membaca tulisan Faidah. Ia mencoba mendekati PS dari perspektif postcolonialsme. Bahwa pada masyarakat yang pernah dijajah, yang merasa tertindas dan  kemudian memarginalkan diri, ada “teriakan” dan gejolak jiwa yang tak terdengar. Gejoka ini baru bisa terdengar, terbaca, bila dilakukan pemihakan. (Faidah; Ameks, 8 Oktober 2008)
Pembacaan saya terhadap gejolak itu kira-kira terbaca dari cara mereka mensikapi pukul sapu. Pertama, cukup menyelesaikan ritual sebagaimana biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sini, nampak ada penolakan terhadap unsure baru. Kedua, kesadaran untuk membuka diri, umumnya dimulai dengan mengangkat cerita heroic Perang Kapahaha dan Kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Ketiga, ada arus tengah, menyatukan sikap pertama dan kedua secara bersamaan.

ISOLASI
Salah satu sikap masyarakat Morella menolak unsure luar adalah cerita para tetua tentang pemilihan lokasi negeri. Saat kalah perang, semua penduduk di negeri tua (Kapahaha, Iyal Uli, Putilessy dan Ninggareta, lokasi di pebukitan negeri Morella) diharuskan untuk membangun kampong di pesisir pantai oleh Belanda. Awalnya, mereka menetap di Sawatelu yang dibuktikan dengan dua kubur Raja di Sawatelu.
Namun, kehidupan di Sawatelu tidak memberi rasa aman, karena masih memungkinkan Belanda mengontrol, kapal Belanda masih bisa berlabuh depan negeri. Maka dipilih lokasi baru, yang tidak memungkinkan Belanda melabuhkan kapal. Lokasi itu, Morella sekarang.
Di masyarakat ada pemeo, Belanda itu kafir. Label kafir dalam masyarakat tradisional muslim adalah sesuatu hal tabu. Kondisi ini masih terus terjadi walau pemerintah sudah berganti, minimal hingga tahun 70-an.  Sikap tertutup bahkan merambah hingga memilih sekolah untuk anak mereka. Pelajar dan pemuda Morella  memilih bersekolah di madrasah, pesantren atau IAIN.
Morella yang “tertutup”, masih kita rasakan tahun 70-an. Jumlah PNS dan yang mengecap pendidikan umum sangat minim.  Padahal dari segi ekonomi mereka terus berkembang. Pertanian tanaman keras dan perdagangan hasil bumi tumbuh baik. Saat bersamaan mereka justru mengirim anak ke pesantren-pesantren di Makassar dan Jawa (baca; bukan sekolah umum). Sehingga negeri lain menjuluki Morella saat itu sebagai negeri “pali-pali” (negeri tikar, karena banyak berkutat dengan tahlilan dan sejenis). 
Selepas generasi itu (tahun 70-an),  pelajar, mahasiswa Morella baru mulai merambah pendidikan umum. Jumlah yang berminat menjadi PNS dan bersekolah di sekolah/PT umum makin meningkat. Era baru masyarakat Morella sudah dimulai.
Mengapa mereka memilih menutup diri?,  Secara perlahan mulai saya pahami ketika dekat dengan panitia Pukul Sapu, suka kongko-kongko dengan tetua negeri. Kepanitian yang terkesan asal menyelesaikan acara puncak, selesai sudah, menjadi bahan pemikiran saya.  Mungkinkah sikap para leluhur yang tidak mau banyak membuka diri masih mendapat tempat hari ini, pada generasi yang lebih muda?

FORUM KAJIAN SEJARAH
Obor Kapitan Telukabessy (foto: FKSB 2011)
Sisi kedua dalam mensikapi pukul sapu dengan pandangan berbeda, ditunjukkan oleh kelompok muda. Ide-ide segar untuk mengangkat kepahlawanan Kapitan Telukabessy dan heroiknya perang Kapahaha menjadi icon. Umumnya mereka adalah pelajar, mahasiswa dan pemuda yang mulai bersentuhan dengan dunia luar, pendidikan umum atau yang tinggal di luar Morella.
Kelompok masyarakat ini mulai temukan ruh lain dari pukul sapu. Kalau sejak awal, pukul sapu diawali oleh pembakaran obor Kapitan Telukabessy, maka mereka memberikan pemaknaan lebih dari sekedar obor. Obor adalah semangat memperjuangkan kepahlawanan Kapitan Telukabessy.  Pukul sapu, tidak sekedar ritual adat tahunan, lebih dari itu sebagai pemersatu dan jalan menuju pengakuan kebesaran perang Kapahaha.   
Gejolak positif ini dimaknai dengan berbagai kegiatan terstruktur. Pembentukan Forum Kajian Sejarah dan Budaya, diskusi Kepahlawanan Kapitan Telukabessy, membangun jaringan dengan – yang mereka namakan – anak cucu para pejuang Kapahaha, seperti membangun silaturrahmi dengan kerajaan Gowa, dll, membuat teatrikal perang Kapahaha, hingga aktif membuka jaringan dengan media elektronik untuk “menjual” Morella, memberikan pesan jelas bahwa benar mereka sedang berproses.
Teriakan sumbang Morella tentang nama Kapitan Telukabessy yang disalah tulis oleh Pemda Kota Ambon pada nama jalan menjadi Tulukabessy, atau pataka Kodam XVI Pattimura “Lawa Mena Haulala” yang murni digali oleh Nurtawainela cs (tahun 1965) dari pekik perang Telukabessy, yang kini disalah artikan dan dicaplok seakan itu pekik Pattimura, sudah masuk dalam agenda besar mereka. Dan ini saya baca sebagai pemaknaan mereka terhadap obor Kapitan Telukabessy.   
Sampai di sini, nampak  bahwa dengan proses yang sedang dilakoni, hanya menunggu canal, waktu yang pas dan keberpihakan pemerintah. Manakala itu terjadi, tidak mustahil teriakan sumbang akibat isolasi diri, perasaan marginal, lambat laun akan menjadi energy positif. 
Allahu A’lam bish shawab.sumber link

Tidak ada komentar:

Posting Komentar