Di Balik Pukul Sapu Lidi Morella
02.11
HAUSIHU PICTURES
Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011) |
“Apa
alasan masyarakat Morella mempertahankan Pukul Sapu Lidi ? Pertanyaan
itu kemarin kembali diajukan seorang wartawan yang saya dampingi
mengambil sejumlah bahan untuk dipublikasi di Morella. Pertanyaan yang
sama tiap tahun diajukan pejabat, wartawan bahkan pengunjung yang sudah
berulang-ulang mengikuti prosesi atraksi pukul sapu Morella. Salah
seorang penanya adalah Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang, putra
Raja Gowa terakhir. Ia diundang dalam kapasitas sebagai perwakilan
turunan kapitan dan malesi yang berjuang bersama pada perang Kapahaha
tahun 1637 hingga 1646.
MEMAKNAI
Menarik
membaca tulisan Faidah. Ia mencoba mendekati PS dari perspektif
postcolonialsme. Bahwa pada masyarakat yang pernah dijajah, yang merasa
tertindas dan kemudian memarginalkan diri, ada “teriakan” dan gejolak
jiwa yang tak terdengar. Gejoka ini baru bisa terdengar, terbaca, bila
dilakukan pemihakan. (Faidah; Ameks, 8 Oktober 2008)
Pembacaan saya terhadap gejolak itu kira-kira terbaca dari cara mereka mensikapi pukul sapu. Pertama, cukup menyelesaikan ritual sebagaimana biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sini, nampak ada penolakan terhadap unsure baru. Kedua, kesadaran untuk membuka diri, umumnya dimulai dengan mengangkat cerita heroic Perang Kapahaha dan Kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Ketiga, ada arus tengah, menyatukan sikap pertama dan kedua secara bersamaan.
Pembacaan saya terhadap gejolak itu kira-kira terbaca dari cara mereka mensikapi pukul sapu. Pertama, cukup menyelesaikan ritual sebagaimana biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sini, nampak ada penolakan terhadap unsure baru. Kedua, kesadaran untuk membuka diri, umumnya dimulai dengan mengangkat cerita heroic Perang Kapahaha dan Kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Ketiga, ada arus tengah, menyatukan sikap pertama dan kedua secara bersamaan.
ISOLASI
Salah
satu sikap masyarakat Morella menolak unsure luar adalah cerita para
tetua tentang pemilihan lokasi negeri. Saat kalah perang, semua penduduk
di negeri tua (Kapahaha, Iyal Uli, Putilessy dan Ninggareta, lokasi di
pebukitan negeri Morella) diharuskan untuk membangun kampong di pesisir
pantai oleh Belanda. Awalnya, mereka menetap di Sawatelu yang dibuktikan
dengan dua kubur Raja di Sawatelu.
Namun, kehidupan di Sawatelu tidak memberi rasa aman, karena masih memungkinkan Belanda mengontrol, kapal Belanda masih bisa berlabuh depan negeri. Maka dipilih lokasi baru, yang tidak memungkinkan Belanda melabuhkan kapal. Lokasi itu, Morella sekarang.
Di masyarakat ada pemeo, Belanda itu kafir. Label kafir dalam masyarakat tradisional muslim adalah sesuatu hal tabu. Kondisi ini masih terus terjadi walau pemerintah sudah berganti, minimal hingga tahun 70-an. Sikap tertutup bahkan merambah hingga memilih sekolah untuk anak mereka. Pelajar dan pemuda Morella memilih bersekolah di madrasah, pesantren atau IAIN.
Morella yang “tertutup”, masih kita rasakan tahun 70-an. Jumlah PNS dan yang mengecap pendidikan umum sangat minim. Padahal dari segi ekonomi mereka terus berkembang. Pertanian tanaman keras dan perdagangan hasil bumi tumbuh baik. Saat bersamaan mereka justru mengirim anak ke pesantren-pesantren di Makassar dan Jawa (baca; bukan sekolah umum). Sehingga negeri lain menjuluki Morella saat itu sebagai negeri “pali-pali” (negeri tikar, karena banyak berkutat dengan tahlilan dan sejenis).
Selepas generasi itu (tahun 70-an), pelajar, mahasiswa Morella baru mulai merambah pendidikan umum. Jumlah yang berminat menjadi PNS dan bersekolah di sekolah/PT umum makin meningkat. Era baru masyarakat Morella sudah dimulai.
Mengapa mereka memilih menutup diri?, Secara perlahan mulai saya pahami ketika dekat dengan panitia Pukul Sapu, suka kongko-kongko dengan tetua negeri. Kepanitian yang terkesan asal menyelesaikan acara puncak, selesai sudah, menjadi bahan pemikiran saya. Mungkinkah sikap para leluhur yang tidak mau banyak membuka diri masih mendapat tempat hari ini, pada generasi yang lebih muda?
Namun, kehidupan di Sawatelu tidak memberi rasa aman, karena masih memungkinkan Belanda mengontrol, kapal Belanda masih bisa berlabuh depan negeri. Maka dipilih lokasi baru, yang tidak memungkinkan Belanda melabuhkan kapal. Lokasi itu, Morella sekarang.
Di masyarakat ada pemeo, Belanda itu kafir. Label kafir dalam masyarakat tradisional muslim adalah sesuatu hal tabu. Kondisi ini masih terus terjadi walau pemerintah sudah berganti, minimal hingga tahun 70-an. Sikap tertutup bahkan merambah hingga memilih sekolah untuk anak mereka. Pelajar dan pemuda Morella memilih bersekolah di madrasah, pesantren atau IAIN.
Morella yang “tertutup”, masih kita rasakan tahun 70-an. Jumlah PNS dan yang mengecap pendidikan umum sangat minim. Padahal dari segi ekonomi mereka terus berkembang. Pertanian tanaman keras dan perdagangan hasil bumi tumbuh baik. Saat bersamaan mereka justru mengirim anak ke pesantren-pesantren di Makassar dan Jawa (baca; bukan sekolah umum). Sehingga negeri lain menjuluki Morella saat itu sebagai negeri “pali-pali” (negeri tikar, karena banyak berkutat dengan tahlilan dan sejenis).
Selepas generasi itu (tahun 70-an), pelajar, mahasiswa Morella baru mulai merambah pendidikan umum. Jumlah yang berminat menjadi PNS dan bersekolah di sekolah/PT umum makin meningkat. Era baru masyarakat Morella sudah dimulai.
Mengapa mereka memilih menutup diri?, Secara perlahan mulai saya pahami ketika dekat dengan panitia Pukul Sapu, suka kongko-kongko dengan tetua negeri. Kepanitian yang terkesan asal menyelesaikan acara puncak, selesai sudah, menjadi bahan pemikiran saya. Mungkinkah sikap para leluhur yang tidak mau banyak membuka diri masih mendapat tempat hari ini, pada generasi yang lebih muda?
FORUM KAJIAN SEJARAH
Obor Kapitan Telukabessy (foto: FKSB 2011) |
Sisi
kedua dalam mensikapi pukul sapu dengan pandangan berbeda, ditunjukkan
oleh kelompok muda. Ide-ide segar untuk mengangkat kepahlawanan Kapitan
Telukabessy dan heroiknya perang Kapahaha menjadi icon. Umumnya mereka
adalah pelajar, mahasiswa dan pemuda yang mulai bersentuhan dengan dunia
luar, pendidikan umum atau yang tinggal di luar Morella.
Kelompok
masyarakat ini mulai temukan ruh lain dari pukul sapu. Kalau sejak
awal, pukul sapu diawali oleh pembakaran obor Kapitan Telukabessy, maka
mereka memberikan pemaknaan lebih dari sekedar obor. Obor adalah
semangat memperjuangkan kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Pukul sapu,
tidak sekedar ritual adat tahunan, lebih dari itu sebagai pemersatu dan
jalan menuju pengakuan kebesaran perang Kapahaha.
Gejolak
positif ini dimaknai dengan berbagai kegiatan terstruktur. Pembentukan
Forum Kajian Sejarah dan Budaya, diskusi Kepahlawanan Kapitan
Telukabessy, membangun jaringan dengan – yang mereka namakan – anak cucu
para pejuang Kapahaha, seperti membangun silaturrahmi dengan kerajaan
Gowa, dll, membuat teatrikal perang Kapahaha, hingga aktif membuka
jaringan dengan media elektronik untuk “menjual” Morella, memberikan
pesan jelas bahwa benar mereka sedang berproses.
Teriakan
sumbang Morella tentang nama Kapitan Telukabessy yang disalah tulis
oleh Pemda Kota Ambon pada nama jalan menjadi Tulukabessy, atau pataka
Kodam XVI Pattimura “Lawa Mena Haulala” yang murni digali oleh
Nurtawainela cs (tahun 1965) dari pekik perang Telukabessy, yang kini
disalah artikan dan dicaplok seakan itu pekik Pattimura, sudah masuk
dalam agenda besar mereka. Dan ini saya baca sebagai pemaknaan mereka
terhadap obor Kapitan Telukabessy.
Sampai
di sini, nampak bahwa dengan proses yang sedang dilakoni, hanya
menunggu canal, waktu yang pas dan keberpihakan pemerintah. Manakala itu
terjadi, tidak mustahil teriakan sumbang akibat isolasi diri, perasaan
marginal, lambat laun akan menjadi energy positif.
Allahu A’lam bish shawab.sumber link
Allahu A’lam bish shawab.sumber link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar